Sunday, August 5, 2007

KLAIM PADA KONTRAK KERJA KONSTRUKSI DI INDONESIA DAN CARA PENYELESAIANNYA

Nengah Tela dan Nursyam Saleh
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta

Kertas kerja ini di bentangkan dalam International Conference on Construction Industry, 21-24 Jun 2007, di Universitas Bung Hatta, Padang, Indonesia.

Abstrak

Didalam pelaksanaan pembinaan sering terjadi persoalan, yang mengakibatkan adanya para pihak yang dirugikan. Kerugian-kerugian yang ditimbulkan boleh berupa uang, masa maupun kualiti daripada hasil pekerjaan ataupun produk yang dihasilkan. Kecendrungan ini terus terjadi di Indonesia, yang sering tidak tahu apa penyebabnya. Berdasarkan ketentuan pembangunan, proses pembangunan melalui proses mulai dari studi, planing, sampai kepada pembangunan di site. Jika dilihat proses pembangunan pada masing-masing tahapan yang dilakulan sudah ada ketentuan-ketentuan yang mengatur dan sudah semuanya dituliskan, dan disepakati secara bersama dalam kontrak. Keadaan dokumen yang tidak jelas, kontrak yang tidak fokus dapat menimbulkan klim sehingga terjadi sengketa. Sengketa dapat membuka peluang para pihak untuk mencari pembenaran sendiri sehingga dapat merugikan para pihak, negara maupun pribadi sebagai pengguna maupun pemberi jasa. Guna menghindari sengketa diperlukan dokumen yang jelas dan terinci yang dibuat dalam dokumen kontrak, serta penyelesaian yang paling baik dalam pembangunan jasa konstruksi adalah dengan cara mediasi.

Kata Kunci
Klaim, sengketa, kontrak kontruksi.

I.PENDAHULUAN


Ada fenomena bahwa posisi Penyelia Jasa dipandang lebih lemah daripada posisi Pengguna Jasa. Dengan kata lain posisi Pengguna Jasa lebih dominan dari pada posisi Penyedia Jasa. Penyedia Jasa hampir selalu harus memenuhi konsep/draf kontrak yang dibuat Pengguna Jasa karena Pengguna Jasa selalu menempatkan dirinya lebih tinggi dari Penyelia Jasa. Mungkin hal ini diwarisi dari pengertian bahwa dahulu Pengguna Jasa disebut Bouwheer (Majikan Bangunan) sehingga sebagimana biasa “majikan” selalu lebih “kuasa”. Hal ini terjadi pada masa lalu sampai sekarang. Peraturan perundang-undangan yang baku untuk mengatur hak-hak dan kewajiban para pelaku industri jasa konstruksi sampai lahirnya Undang-Undang No. 18/1999 tentang Jasa Konstruksi, belum ada sehingga asas “Kebebasan Berkontrak” sebagaimana diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) Pasal 1338 dipakai sebagai satu-satunya asas dalam penyusunan kontrak. Dengan posisi yang lebih dominan, Pengguna Jasa lebih leluasa menyusun kontrak dan ini dapat merugikan Penyedia Jasa (Nazarkhan Yasin, 2003).

Ketidak seimbangan antara terbatasnya pekerjaan Konstruksi/Proyek dan banyaknya Penyedia Jasa mengakibatkan posisi tawar Penyedia Jasa sangat lemah. Dengan banyaknya jumlah Penyedia Jasa maka Pengguna Jasa leluasa melakukan pilihan. Adanya kekhawatiran tidak mendapatkan pekerjaan yang ditenderkan Pengguna jasa/Pemilik Proyek menyebabkan Penyedia Jasa “rela” menerima Kontrak Konstruksi yang dibuat Pengguna Jasa. Bahkan sewaktu proses tender biasanya Penyedia Jasa enggan bertanya hal-hal yang sensitive namun penting seperti ketersediaan dana, isi kontrak, kelancaran pembayaran, Penyedia Jasa takut pihaknya dimasukkan dalam daftar hitam.

II. SEBAB TERJADINYA KLAIM


Sesungguhnya dengan mengetahui sebab-sebab dari suatu klaim, para pihak selaku pelaksana industri jasa konstruksi dengan pikiran jernih dapat menempatkan masalah klaim secara wajar dan proporsional dan tak perlu merasa canggung atau alergi. Pendapat beberapa penulis.
Prof. H. Priyatna Abdurrasyid, beberapa sebab utama terjadinya klaim: Informasi design yang tidak tepat, Informasi design yang tidak sempurna, Investigasi lokasi yang tidak sempurna, Reaksi klien yang lambat, Komunikasi yang buruk, Sasaran waktu yang tidak realistis, Administrasi kontrak yang tidak sempurna, Kejadian eksternal yang tidak terkendali, Informasi tender yang tidak lengkap, Alokasi risiko yang tidak jelas, Keterlambatan – ingkar membayar. Kebanyakan sengketa/ketidaksepakatan dibidang jasa konstruksi pada umumnya dapat diselesaikan melalui negosiasi/mediasi diluar pengadilan karena kontruksi merupakan kegiatan yang berkelanjutan dari awal sampai akhir. Melempar masalah kepengadilan berarti menghentikan pembangunan untuk jangka waktu yang tidak bisa diperhitungkan. Tapi negosiasi atau mediasi pun dapat tidak berfungsi/gagal.

Menurut Robert D. Gilbreath, sebab-sebab terjadinya klaim:
1. Pekerjaan yang cacat.
Para pengguna jasa yang tidak puas dengan apa yang dihasilkan penyedia jasa dapat mengajukan klaim atas kerugian termasuk biaya perubahan, penggantian atau pembongkaran pekerjaan yang cacat. Dalam banyak kejadian, pekerjaan yang tidak diselesaikan sesuai dengan spesifikasi yang disebut dalam kontrak atau hal lain yang tidak cocok dengan maksud yang ditetapkan. Kadang-kadang barang-barang atau jasa yang diminta tidak sesuai dengan garansi/jaminan yang diberikan penyedia jasa atau pemasok bahan.
2. Kelambatan yang disebabkan penyedia jasa.
Jika penyedia jasa berjanji melaksanakan pekerjaan tersebut, dalam waktu yang telah ditetapkan, pengguna jasa dapat mengajukan klaim atas kerugian bila keterlambatan tersebut disebabkan penyedia jasa atau dalam kejadian lain, bahkan jika keterlambatan tersebut diluar kendali dari penyedia jasa. Jenis-jenis klaim kerugian dalam hal ini adalah kehilangan kesempatan penggunaan dari fasilitas tersebut, pengaruh reaksi terhadap penyedia jasa lain dan kenaikan biaya dari pekerjaan lain yang terlambat.
3. Sebagai klaim tandingan.
Para pengguna jasa yang menghadapi klaim-klaim para penyedia jasa dapat membalasnya dengan klaim tandingan. Klaim tandingan biasanya menyerang atau berusaha memojokan/mendiskreditkan unsure-unsur asli dari klaim penyedia jasa, dengan membuka hal-hal yang tumpang tindih atau perangkap kerugian biaya atau menyebutkan perubahan-perubahan atau pasal-pasal klaim dalam kontrak yang melarang atau modifikasi dari tindakan-tindakan penyedia jasa dalam hal terjadinya sengketa. Kebanyakan klaim yang ditemukan dalam proyek konstruksi datang dari penyedia jasa terhadap pengguna jasa karena satu dan lain sebab. Perubahan-perubahan tidak resmi adalah sebagai berikut:
*Kelambatan atau cacat informasi dari pengguna jasa biasanya dalam bentuk gambar-gambar atau spesifikasi teknis.
* Kelambatan atau cacat informasi dari bahan-bahan atau peralatan yang diserahkan pengguna jasa.
* Perubahan-perubahan permintaan, gambar-gambar atau spesifikasi.
* Perubahan-perubahan kondisi lapangan atau kondisi lapangan yang tidak diketahui.
* Pengaruh reaksi dari pekerjaan yang tidak bersamaan.
* Larangan-larangan metode kerja tertentu termasuk kelambatan atau percepatan pelaksanaan pekerjaan penyedia jasa.
* Kontrak yang memiliki arti mendua atau perbedaan penafsiran.

Dari uraian diatas sebab-sebab atau asal usul klaim dapat dikelompokan sebagai berikut:

Sebab–sebab umum
Komunikasi antara pengguna jasa dan penyedia jasa buruk; Administrasi kontrak yang tidak mencukupi; Sasaran waktu yang tidak terkendali; Kejadian eksternal yang tidak terkendali; Kontrak yang artinya mendua.

Sebab–sebab dari pengguna jasa
Informasi tender yang tidak lengkap/sempurna mengenai desain, bahan, spesifikasi; Penyelidikan site yang tidak sempurna/perubahan site; Reaksi/tanggapan yang lambat; Alokasi risiko yang tidak jelas; Kelambatan pembayaran; Larangan metode kerja tertentu.

Sebab - sebab dari penyedia jasa
Pekerjaan yang cacat/mutu pekerjaan buruk; Kelambatan penyelesaian; Klaim tandingan/perlawanan klaim; Pekerjaan tidak sesuai spesifikasi; Bahan yang dipakai memenuhi syarat garansi.

III. UNSUR-UNSUR KLAIM
Klaim-klaim konstruksi yang biasa muncul dan paling sering terjadi adalah klaim mengenai waktu dan biaya sebagai akibat perubahan pekerjaan. Bila pekerjaan berubah, katakanlah volume pekerjaan bertambah atau sifat dan jenisnya berubah, tidak terlalu sulit menghitung berapa tambahan biaya yang diminta penyedia jasa beserta tambahan waktu.

Namun terkadang penyedia jasa, disamping mengajukan klaim yang disebut tadi, juga mengajukan klaim sebagai dampak terhadap pekerjaan yang tidak berubah. Hal ini dapat diterangkan sebagai berikut: suatu pekerjaan yang tidak diubah terpaksa ditunda (karena alasan teknis pelaksanaannya dengan adanya pekerjaan lain yang berubah). Pekerjaan yang tidak berubah tadi seharusnya dikerjakan pada musim kemarau. Oleh karena terjadi penundaan pekerjaan ini terpaksa dilaksanakan dalam musim hujan yang mengakibatkan menurunkan produktifitas dan perlu tambahan biaya untuk melindungi pekerjaan tersebut dari pengaruh cuaca (hujan).
Belum lagi kemungkinan terjadinya kenaikan upah buruh karena musim hujan, tambahan tenaga pengamanan, biaya administrasi, dan overhead.

Menurut Robert D Gilbreath, unsur-unsur klaim konstruksi tersebut adalah:
* Tambahan upah, material, peralatan, pengawasan, administrasi, overhead dan waktu.
* Pengulangan pekerjaan (bongkar/pasang).
* Penurunan prestasi kerja.
* Pengaruh iklim.
* De-mobilisasi dan Re-mobilisasi.
* Salah penempatan peralatan.
* Penumpukan bahan.
* De-efisiensi jenis pekerjaan.

1. Kategori klaim
a. Dari pengguna jasa terhadap penyedia jasa:
* Pengurangan nilai kontrak.
* Percepatan waktu penyelesaian pekerjaan
* Kompensasi atas kelalaian penyedia jasa
b. Dari penyedia jasa terhadap pengguna jasa:
* Tambahan waktu pelaksanaan pekerjaan
* Tambahan kompensasi
* Tambahan konsesi atas pengurangan spesifikasi teknis atau bahan.
c. Dari Sub penyedia jasa atau pemasok bahan terhadap penyedia jasa utama

2. Jenis-jenis klaim
a. Klaim tambahan biaya dan waktu; Diantara beberapa jenis klaim, akan ditinjau 2 (dua) jenis klaim yang sering terjadi yaitu klaim yang timbul akibat keterlambatan penyelesaian pekerjaan. Klaim jenis ini biasanya mengenai permintaan tambahan waktu dan tambahan biaya.
b. Klaim biaya tak langsung (Overhead); Selain itu terdapat pula jenis klaim lain sebagai akibat kelambatan tadi, klaim atas biaya tak langsung (overhead). Penyedia jasa yang terlambat menyelesaikan suatu pekerjaan karena sebab-sebab dari pengguna jasa, meminta tambahan biaya overhead dengan alasan biaya ini bertambah karena pekerjaan belum selesai.
c. Klaim tambahan waktu (tanpa tambahan biaya); Walaupun klaim kelembatan kelihatannya sederhana saja, namun dalam kenyataannya tidak demikian. Misalnya penyedia jasa hanya diberikan tambahan waktu pelaksanaan tanpa tambahan biaya karena alasan-alsan tertentu.
d. Klaim kompensasi lain; Dilain kejadian penyedia jasa selain mendapatkan tambahan waktu mendapatkan pula kompensasi lain.
Ada kalanya penyedia jasa tidak mendapatkan seluruh klaim kelambatan yang diminta karena tidak seluruh kelambatan tersebut kesalahan pengguna jasa. Penyedia jasa juga mempunyai andil dalam kelambatan tersebut yang terjadi secara tumpang tindih.

IV. SENGKETA KONSTRUKSI
Sengketa konstruksi adalah sengketa yang terjadi sehubungan dengan pelaksanaan suatu usaha jasa konstruksi antara para pihak yang tersebut dalam suatu kontrak konstruksi yang di dunia Barat disebut construction dispute. Sengketa konstruksi yang dimaksudkan di sini adalah sengketa di bidang perdata yang menurut UU no.30/1999 Pasal 5 diizinkan untuk diselesaikan melalui Arbitrase atau Jalur Alternatif Penyelesaian Sengketa. (Nazarkhan Yasin. 2004, Mengenal Klaim Konstruksi dan Penyelesaian Sengketa Konstruksi).

Konstruksi dimaksud adalah kegiatan jasa konstruksi yang meliputi; Perencanaan, Pelaksanaan, dan Pengawasan pekerjaan konstruksi. Undang-undang tentang Jasa Konstruksi No.18 tahun 1999 dalam Ketentuan Umum menyebutkan bahwa Jasa Konstruksi adalah layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi dan layanan jasa konsultansi pengawasan pekerjaan konstruksi. Sedangkan pengertian pekerjaan konstruksi adalah seluruh atau sebahagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain. (Undang-Undang Jasa Konstruksi No.18 tahun 1999).

Sengketa konstruksi dapat timbul antara lain karena klaim yang tidak dilayani misalnya keterlambatan pembayaran, keterlambatan penyelesaian pekerjaan, perbedaan penafsiran dokumen kontrak, ketidak mampuan baik teknis maupun manajerial dari para pihak. Selain itu sengketa konstruksi dapat pula terjadi apabila pengguna jasa ternyata tidak melaksanakan tugas-tugas pengelolaan dengan baik dan mungkin tidak memiliki dukungan dana yang cukup. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa sengketa konstruksi timbul karena salah satu pihak telah melakukan tindakan cidera (wanprestasi atau default).

V. PENYELESAIAN SENGKETA


Sengketa konstruksi dapat diselesaikan melalui beberapa pilihan yang disepakati oleh para pihak yaitu melalui :
* Badan Peradilan (Pengadilan);
* Arbitrase (Lembaga atau Ad Hoc);
* Alternatif Penyelesaian Sengketa (konsultasi, negosiasi, mediasi, konsilisasi).

Penyelesaian sengketa harus secara tegas dicantumkan dalam kontrak konstruksi dan sengketa yang dimaksud adalah sengketa perdata (bukan pidana). Misalnya, pilihan penyelesaian sengketa tercantum dalam kontrak adalah Arbitrase. Dalam hal ini pengadilan tidak berwenang untuk mengadili sengketa tersebut sesuai Undang-Undang No.30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal 3.

1. Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan
Penyelesaian sengketa melalu pengadilan, kurang disukai dan diminati oleh para pelaku jasa konstruksi karena waktu penyelesaiannya terlalu lama, apalagi bila terjadi Peninjauan Kembali. Hal ini diungkapkan oleh Prof. Dr.Sudargo Gautama dalam bukunya Undang Undang Arbitrase Baru, 1999 hal 2-4 sebagai berikut:
Dunia dagang, terutama Internasional selalu "takut" untuk berperkara dihadapan badan-badan peradilan. Ini berlaku untuk tiap sistem negara, baik negara yang maju maupun masih berstatus negara berkembang. Para pedagang umumnya takut untuk berperkara bertahun-tahun lamanya. Keadaan ini dirasakan disemua negara. Tetapi lebih-lebih lagi dalam keadaan sistem peradilan di negara kita, berperkara bisa berlarut-larut, artinya bisa bertahun-taun lamanya.

2. Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase
Kata arbitrase berasal dari kata arbitrare (Latin), arbitrage (Belanda), arbitration (Inggris), schiedspruch (Jerman), dan arbitrage (Peracis), yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan atau damai oleh artbiter atau wasit.
Arbitrase merupakan salah satu metode penyelesaian sengketa. Sengketa yang harus diselesaikan tersebut berasal dari sengketa atas sebuah kontrak dalam bentuk sebagai berikut (Harahap, Yahya, Arbitrase, Pustaka Kartini, Jakarta, 1991).
a. Perbedaan penafsiran (disputes) mengenai pelaksanaan perjanjian, berupa:
* Kontroversi pendapat (controversy);
* Kesalahan pengertian (misunderstanding);
* Ketidaksepakatan (disagreement);

b. Pelanggaran perjanjian (breach of contract), termasuk di dalamnya adalah:
* Sah atau tidaknya kontrak;
* Berlaku atau tidaknya kontrak

c. Pengakhiran kontrak (termination of contract);
d. Klaim mengenai ganti rugi atas wanprestasi atau perbuatan atau melawan hukum.

Menurut Steven H. Grifis (1984), yang dimaksud dengan arbitrase adalah submission of controversies by agreement of the parties thereto, to person chosen by themselves for determination (suatu pengajuan sengketa, berdasarkan perjanjian antara para pihak, kepada orang-orang yang dipilih sendiri oleh mereka untuk mendapatkan suatu keputusan).
Dalam suatu sumber yang lain disebutkan bahwa yang dimaksud dengan arbitrase adalah the submission for determination of diputed matter to private unofficial persons selected in manner provided by law or agreement (pengajuan suatu sengeketa untuk diputuskan oleh orang-orang swasta yang tidak resmi, yang dipilih dengan cara yang ditetapkan oleh peraturan atau oleh suatu perjanjian) (Fuady, Munir, 2000).

Sementara R. Subekti mengartikan arbitrase :
Arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau menaati keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim yang mereka pilih atau tunjuk tersebut (Subekti, Arbitrase Perdagangan, Bina Cipta, Bandung, 1992).

Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya disebut UU Arbitrase), yang dimaksud dengan arbitrase adalah :
Cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa, vide Pasal 1 ayat (1).
Arbitrase sebagai salah satu metode penyelesaian sengketa, yang harus diselesaikan tersebut berasal dan sengketa atas sebuah kontrak dalam bentuk sebagai berikut: (Harahap, M. Yahya, 1991:108)
a. Perbedaan penafsiran (disputes) mengenai pelaksanaan perjanjian, berupa:
* Kontraversi pendapat (controversy);
* Kesalahan pengertian (misunderstanding);
* Ketidaksepakatan (disagreement);
b. Pelanggaran perjanjian (breach of contract). termasuk di dalamnya adalah:
* Sah atau tidaknya kontrak;
* Berlaku atau tidaknya kontrak;
c. Pengakhiran kontrak (termination of contract);
d. Klaim mengenai ganti rugi atas wanprestasi atau perbuatan atau melawan hukum.
Arbitrase merupakan suatu pengadilan swasta, yang sering juga disebut dengan “pengadilan wasit.” Sehingga para “arbiter” dalam peradilan arbitrase berfungsi memang layaknya seorang “wasit” (referee) seumpama wasit dalam suatu pertandingan bola kaki.
Yang dimaksud dengan “arbitrase” adalah submission of controversies, by agreement of the parties there to, to persons chosen by themselves for determination (suatu pengajuan sengketa, berdasarkan perjanjian antara para pihak, kepada orang-orang yang dipilih sendiri oleh mereka untuk mendapatkan suatu keputusan) (Gills, Steven H, 1984 : 27).
Dalam suatu sumber, arbitrase dimaksudkan sebagai:
Menurut yang tertulis, ialah memeriksa sesuatu, atau mengambll keputusan mengenai faedahnya. Proses yang oleh suatu perselisihan antara dua pihak yang bertentangan diserahkan kepada satu pihak atau lebih yang tidak berkepentingan untuk mengadakan pemeriksaan dan mengambil suatu keputusan terakhir. Pihak yang tidak berkepentingan, atau arbitrator tersebut, dapat dipilih oleh pihak-pihak itu sendiri, atau boleh ditunjuk oleh suatu badan yang lebih tinggi yang kekuasaannya diakui oleh pihak-pihak itu. Dalam prosedur arbitration, kedua belah pihak yang bertentangan itu sebelumnya telah menyetujui akan menerima keputusan arbitrator... (Abdurrachman, A., 1991 50).
Dalam suatu sumber yang lain disebutkan bahwa yang dimaksud dengan arbitrase adalah the submission for determination of disputed matter to private unofficial persons selected ini manner provided by law or agreement (pengajuan suatu sengketa untuk diputuskan oleh orang-orang swasta yang tidak resmi, yang dipilih dengan cara yang ditetapkan oleh peraturan atau oleh suatu perjanjian). (Black, Henry Campbell, 1968: 134).
Kemudian, menurut Undang-Undang Arbitrase No. 30 Tahun 1999, yang dimaksud dengan arbitrase adalah:
Cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa (vide Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Arbitrase No. 30 Tahun 1999).

Arbitrase Lebih Disukai

Dalam Undang-Undang Arbitrase Baru 1999, dinyatakan antara lain bahwa dibandingkan dengan berperkara biasa memalui pengadilan negeri, arbitrase lebih diutamakan oleh pelaku bisnis internasional. Salah satu sebab adalah karena “lebih cepat, murah dan sederhana”. Cepat karena dalam rangka arbitrase ditentukan, baik dalam peraturan RV (Reglement of de Rechtsvordering, Hukum Acara Perdata) yang lama (Pasal 620, maupun yang baru, ditentukan pada prinsipnya, putusan arbitrase ini harus dijatuhkan dalam waktu 6 (enam) bulan setelah pengangkatan arbitrase (Pasal 47 RUU).

3. Memilih Penyelesaian Sengketa Alternatif
Karena berbagai kelemahan yang melekat pada badan pengadilan dalam menyelesaikan sengketa, baik kelemahan yang dapat diperbaiki ataupun tidak, maka banyak kalangan yang ingin mencari cara lain atau institusi lain dalam menyelesaikan sengketa di luar badan-badan pengadilan. Dan model penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang sangat populer adalah apa yang disebut dengan “arbitrase” itu.
Akan tetapi, institusi arbitrase bukan satu-satunya jalan untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadian. Masih banyak alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan, sungguhpun tidak sepopuler lembaga arbitrase.
Penyelesaian sengketa alternatif mempunyai kadar keterikatan kepada aturan main yang bervariasi, dan yang paling kaku dalam menjalankan aturan main sampai kepada yang paling relaks. Faktor-faktor penting yang berkaitan dengan pelaksanaan kerja penyelesai sengketa alternatif juga mempunyai kadar yang berbeda-beda, yaitu sebagai berikut:
a. Apakah para pihak dapat diwakili oleh pengacaranya atau para pihak sendiri yang tampil.
b. Apakah partisipasi dalam penyelesaian sengketa alternatif tertentu wajib dilakukan oleh para pihak atau hanya bersifat sukarela.
c. Apakah putusan dibuat oleh para pihak sendiri atau oleh pihak ketiga.
d. Apakah prosedur yang digunakan bersifat formal atau tidak formal.
e. Apakah dasar untuk menjatuhkan putusan adalah aturan hukum atau ada kriteria lain.
f. Apakah putusan dapat dieksekusi secara hukum atau tidak. (Kanowitz, Leo, 1985 6).
g. Tidak semua model penyelesaian sengketa alternatif baik untuk para pihak yang bersengketa. Suatu penyelesaian sengketa alternatif yang baik setidak-tidaknya haruslah memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut:
* Haruslah efisien dan segi waktu.
* Haruslah hemat biaya.
* Haruslah dapat diakses oleh para pihak. Misalnya tempatnya jangan terlalu jauh.
* Haruslah melindungi hak-hak dan para pihak yang bersengketa.
* Haruslah dapat menghasilkan putusan yang adil dan jujur.
* Badan atau orang yang menyelesaikan sengketa haruslah terpercaya di mata masyarakat dan di mata para pihak yang bersengkata.
* Putusannya haruslah final dan mengikat.
* Putusannya haruslah dapat bahkan mudah dieksekusi.
* Putusannya haruslah sesuai dengan perasaan keadilan dan komuniti di mana penyelesaian sengketa alternatif tersebut terdapat. (Kanowitz, Leo, 1985:14).

Sebagaimana diketahui bahwa masing-masing alternatif penyelesaian sengketa yang ada nilai plus minusnya. Tabel berikut ini merupakan perbandingan sisi kuat dan sisi lemah di antara berbagai alternatif penyelesaian sengketa, yaitu sebagai berikut:

   Tabel - Sisi Kuat dan Sisi Lemah dan Berbagai Alternatif Penyelesaian Sengketa 
        
       

Di samping itu, model-model alternatif penyelesaian sengketa yang bersifat campuran di antara berbagai model, juga sering diketemukan. Misalnya apa yang disebut dengan “Med-Arb” yang merupakan bentuk kombinasi antara model mediasi dengan model arbitrase. Atau apa yang disebut dengan “Judicial Arbitration” atau “Court-Annexed Arbitration”, yang merupakan bentuk hibrida dan badan pengadilan dan arbitrase. Atau apa yang dikenal dengan “Concilio-Arbitration.” Dalam hal ini “Concilio-Arbitration” merupakan hibrida antara bentuk konsiliasi dan Arbitrase. Untuk itu, pertama sekali penyelesaian sengketa diusahakan secara Konsiliasi. Akan tetapi, apabila tidak berhasil akan dilanjutkan ke dalam bentuk arbitrase di mana pihak konsiliator akan berubah fungsinya menjadi arbiter.

VI. KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa :
1. Sengketa konstruksi dapat timbul antara lain karena klaim yang tidak dilayani misalnya keterlambatan pembayaran, keterlambatan penyelesaian pekerjaan, perbedaan penafsiran dokumen kontrak, ketidak mampuan baik teknis maupun manajerial dari para pihak. Selain itu sengketa konstruksi dapat pula terjadi apabila pengguna jasa ternyata tidak melaksanakan tugas-tugas pengelolaan dengan baik dan mungkin tidak memiliki dukungan dana yang cukup.
2. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase lebih disukai, dalam Undang-Undang Arbitrase Baru 1999, dinyatakan antara lain bahwa dibandingkan dengan berperkara biasa memalui pengadilan negeri, arbitrase lebih diutamakan oleh pelaku bisnis internasional. Salah satu sebab adalah karena “lebih cepat, murah dan sederhana”.

DAFTAR PUSTAKA
Fuady, Munir. 2000. Arbitrase Nasional, Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis. Bandung : Citra Aditya Bhakti.
Gautama Sudargo.1999. Undang-Undang Arbitrase Baru. Jakarta : PT Citra Aditya Bakti.
Harahap, M Yahya. 1999. Arbitrase. Jakarta : Pustaka Kartini.
Subekti, R.1992. Arbitrase Perdagangan. Bandung : Bina Cipta.
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Undang-Undang No. 18/1999, tentang Jasa Konstruksi.
Yasin Nazarkhan. 2004. Mengenal Klaim Konstruksi & Penyelesaian Sengketa Konstruksi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Yasin Nazarkhan. 2003. Mengenal Kontrak Konstruksi di Indonesia. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. 11

No comments: